Sabtu, 22 Oktober 2016

Kisah Kyai Mojo, Guru Spiritual Pangeran Diponegoro

Lukisan Kyai Modjo

Kyai Mojo adalah salah seorang pahlawan penentang kolonial, bisa disebut guru spiritual Pangeran Diponegoro bahkan salah satu pilar utama penyokong perjuangan Sang Pangeran. Mengenai Kyai Mojo ini tercatat dalam sejarah sebagai beikut :
Tertangkap sekitar Nopember 1928. VOC merencanakan jika jalur pengamanan yang akan dipakai yakni Semarang – Batavia – Ambon – Manado. Proses evakuasi menggunakan kapal perang De Belona lalu dipindahkan ke kapal Mercury. Rombongan ini terbagi menjadi dua. Kyai Mojo sangat dihormati oleh VOC sehingga dibuatkan sebuah rumah tahanan baru yang terpisah. Tinggal di Batavia.
Pemberangkatan ke Ambon dibagi menjadi dua tahap, menggunakan kapal Thalia. Rombongan pertama berjumlah kira-kira 48 orang, rombongan kedua 25 orang: Kyai Mojo disertakan pada rombongan kedua.  Rombongan Kyai Mojo dikirim ke Ambon sekitar awal Februari 1830. Jumlah pengikut yang ikut dikirim ke Ambon cuma 25 orang, sisanya tinggal di Batavia. Rombongan ini akhirnya tiba di Manado sekitar bulan Mei 1830. Kemudian beliau diasingkan di Tondano.
Istri Kyai Mojo ditangkap usai perang selesai ( Februari 1831 ) dan dikirim ke Manado. Istri Kyai Mojo yakni mantan istri Pangeran Mangkubumi. Di Tondano beliau dikenal sebagai “mbah wedok”.
Di Tondano, Kyai Mojo dan 63 orang pengikutnya membangun mesjid yang  dikenal sebagai Masjid Al-Falah, di tengah pemukiman yang sekarang disebut Kampung Jawa Tondano.
Komplek makam Kyai Mojo berada di desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa. Kompleks makam dibagi menjadi dua bagian yakni makam tanpa cungkup dan makam bercungkup.
Bangunan bercungkup pertama, berada di bagian tengah adalah bagian tertinggi di areal kompleks, ada sebelas makam. Bangunan cungkup kedua, terletak di sebelah timur area cungkup pertama, begitu juga bangunan cungkup ketiga. Sisanya di areal kompleks makam tersebut yakni makam tanpa cungkup.
Makam-makam tersebut bisa dibedakan dari undaknya yaitu :Makam berundak sembilan, hanya ada satu yaitu makam Kyai Mojo.
Makam berundak tiga berjumlah 47 buah, tanpa cungkup, tercatat nama-nama Mbah Rivai, Usman Wonggo, Ratep Suratinoyo, Mbah Rumbayan, dll.
Makam berundak dua berjumlah 60 buah, sejumlah diantaranya bercungkup, tercatat nama Kyai Sepoh Baderan.
Makam berundak satu berjumlah 58 buah.
Makam tanpa undakan mencatatkan nama-nama Mbah Ranges, Usman Wonggo, Tumenggung Wayang, Ahmad Nurhamiddin, anak keturunan Kyai Pajang, jumlah tidak tercatat.
Cukup sulit untuk membuat kategori tentang kompleks makam ini. Apa bedanya yang bercungkup dan tidak? Apa maksudnya undak-undakan dibedakan menjadi dua, tiga dan seterusnya? Cuma ada satu yang istimewa adalah makam Kyai Mojo (bercungkup dan berundak sembilan!).
Mengingat jumlah pengikut Kyai Mojo yang ikut dibuang ‘hanya’ 63 orang dan jumlah makam di kompleks tersebut lebih dari 100, maka ada kemungkinan terdapat pejuang yang lain yang turut dibuang di wilayah ini yang tak tercatat oleh administrasi VOC.
Adakah kemungkinan lain? Bisa jadi sudah terjadi perkawinan antara para pengikut Kyai Mojo dengan masyarakat asli Tondano yang membuat masyarakat berkembang dan bertambah populasinya, sehingga tak hanya Kyai Mojo dan pengikutnya saja yang dimakamkan di kompleks ini, melainkan juga anak keturunannya.
Satu hal yang pasti adalah, seluruh makam menunjukkan ciri makam Jawa – Islam.
Catatan Tambahan :
Komplek Pemakaman Kyai Mojo tetap terjaga sampai sekarang oleh anak keturunan para pengikut Kyai Mojo. Sungguh sangat kontras dengan junjungan Kyai Mojo sendiri… Pangeran Diponegoro.
Versi resmi Hindia Belanda yang tetap dipakai sebagai acuan mata pelajaran sejarah sampai kini :  Pangeran Diponegoro dipenjara dan dimakamkan di Makassar. Padahal banyak bukti penelitian masa kini menyimpulkan bahwa P. Diponegoro (yang dipanggil juga Ontowiryo) dimakamkan di Sumenep dalam kompleks makam istana, beserta keluarga dan juga para pengikutnya.
Pictures Sourceskiaimojo.blogspot.com